WestNoken adalah platform informasi dan edukasi yang menghadirkan fakta-fakta objektif tentang Papua — dari sejarah, budaya, potensi alam, hingga dinamika sosial dan pembangunan terkini. Kami berkomitmen untuk melawan disinformasi dan menghadirkan narasi yang mencerahkan, seimbang, dan berbasis data. Melalui artikel, infografis, dan video edukatif, WestNoken mengajak pembaca untuk memahami Papua secara utuh: keindahan budayanya, perjuangan masyarakatnya, serta upaya nyata pemerintah dan warga dalam membangun tanah Papua yang damai dan sejahtera.
Meluruskan Klaim “Trikora Ilegal”: Perspektif Hukum Internasional dan Dekolonisasi
Meluruskan Klaim “Trikora Ilegal”: Perspektif Hukum Internasional dan Dekolonisasi

Meluruskan Klaim “Trikora Ilegal”: Perspektif Hukum Internasional dan Dekolonisasi

Meluruskan Klaim “Trikora Ilegal”: Perspektif Hukum Internasional dan Dekolonisasi

Westnoken, Jayapura — Isu mengenai legalitas Operasi Trikora (1961–1962) kembali mencuat, dengan sejumlah pihak menyebut operasi tersebut sebagai tindakan militer ilegal menurut hukum internasional. Namun, jika ditelaah secara komprehensif, klaim tersebut tidak berdiri di atas konsensus hukum internasional, dan mengabaikan konteks dekolonisasi yang menjadi fondasi utama Trikora.

Dari sudut pandang Indonesia yang juga didukung oleh perkembangan hukum internasional pada awal 1960-an Trikora bukanlah agresi ilegal, melainkan upaya penyelesaian dekolonisasi yang belum tuntas.

Trikora dalam Kerangka Dekolonisasi, Bukan Agresi Antarnegara

Salah satu tudingan utama terhadap Trikora adalah dugaan pelanggaran Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB, yang melarang penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah negara lain. Namun, penerapan pasal ini bergantung pada satu prasyarat utama yaitu wilayah yang diserang harus merupakan wilayah sah negara lain yang berdaulat.

Dalam konteks Papua Barat pada 1961, wilayah tersebut bukan milik Belanda sebagai negara berdaulat, melainkan bagian dari bekas koloni Hindia Belanda yang seharusnya diserahkan kepada Indonesia sejak pengakuan kedaulatan tahun 1949. Dengan demikian, keberadaan Belanda di Papua Barat dipandang sebagai kelanjutan kolonialisme, bukan ekspresi kedaulatan negara.

Atas dasar itu, Trikora diposisikan sebagai tindakan pemulihan kedaulatan nasional, bukan penggunaan kekuatan terhadap negara lain sebagaimana dimaksud dalam Piagam PBB.

Prinsip Uti Possidetis Juris: Fondasi Wilayah Negara Pascakolonial

Argumen hukum Indonesia bertumpu pada prinsip uti possidetis juris, sebuah prinsip hukum internasional yang menyatakan bahwa:

‘’Negara baru hasil dekolonisasi mewarisi batas-batas administratif kolonial sebelumnya.’’

Prinsip ini digunakan secara luas di Asia, Afrika, dan Amerika Latin untuk mencegah fragmentasi wilayah pascakemerdekaan. Dalam kerangka ini, Papua Barat yang secara administratif merupakan bagian dari Hindia Belanda secara hukum melekat pada Republik Indonesia sejak kemerdekaan.

Upaya Belanda untuk memisahkan Papua Barat dan membentuk entitas politik baru justru bertentangan dengan prinsip ini serta semangat dekolonisasi yang berkembang di PBB pada era tersebut.

Resolusi PBB 1514 (XV): Kolonialisme Harus Diakhiri Tanpa Syarat

Landasan hukum internasional lain yang kerap diabaikan dalam klaim “Trikora ilegal” adalah Resolusi Majelis Umum PBB 1514 (XV) Tahun 1960, yang menegaskan bahwa:

  • Kolonialisme dalam segala bentuk harus diakhiri,
  • Upaya memecah wilayah koloni bertentangan dengan tujuan dan prinsip Piagam PBB.

Kebijakan Belanda di Papua Barat termasuk pembentukan lembaga politik lokal yang terpisah merupakan kolonialisme terselubung. Dalam konteks ini, Trikora justru dilihat sebagai tindakan anti-kolonial, sejalan dengan arus hukum internasional pada masa itu.

Hak Penentuan Nasib Sendiri: Tidak Identik dengan Pemisahan

Kritik lain terhadap Trikora sering mengangkat isu hak penentuan nasib sendiri (self-determination) rakyat Papua. Namun, dalam hukum internasional, hak ini tidak selalu berarti kemerdekaan atau pemisahan.

Dalam praktik dekolonisasi, self-determination dapat diwujudkan melalui:

  • Integrasi,
  • Asosiasi bebas,
  • Atau kemerdekaan penuh.

Masyarakat Papua menjalankan hak tersebut dalam kerangka negara Indonesia, yang kemudian dikonfirmasi melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Hasil Pepera diterima oleh Majelis Umum PBB, yang menunjukkan bahwa komunitas internasional tidak menolak integrasi Papua ke Indonesia secara hukum.

New York Agreement 1962: Legitimasi Internasional atas Penyelesaian Konflik

Argumen paling kuat terhadap klaim ilegalitas Trikora adalah fakta bahwa konflik ini diselesaikan melalui perjanjian internasional resmi, yaitu Perjanjian New York 1962, yang:

  • Dimediasi oleh PBB,
  • Ditandatangani Indonesia dan Belanda,
  • Dan diakui secara internasional.

Perjanjian ini mengatur penyerahan Papua Barat dari Belanda kepada PBB, lalu kepada Indonesia. Jika Trikora merupakan tindakan ilegal menurut hukum internasional, kecil kemungkinan PBB akan:

  • Memfasilitasi penyelesaian tersebut,
  • Apalagi mengawasi proses peralihannya.

Tidak Pernah Ada Putusan Hukum Internasional yang Menyatakan Trikora Ilegal

Penting dicatat, hingga kini:

  • Tidak ada putusan Mahkamah Internasional,
  • Tidak ada resolusi Dewan Keamanan PBB,

yang menyatakan bahwa Operasi Trikora melanggar hukum internasional. Klaim “ilegal” yang beredar lebih merupakan narasi politik dan interpretasi akademik tertentu, bukan kesimpulan hukum yang bersifat final dan mengikat.

Kesimpulan

Dalam perspektif hukum internasional dan konteks dekolonisasi awal 1960-an, Operasi Trikora tidak dapat serta-merta disebut ilegal. Indonesia mendasarkan tindakannya pada:

  • Prinsip integritas wilayah pascakolonial,
  • Resolusi dekolonisasi pbb,
  • Dan legitimasi internasional melalui perjanjian new york 1962.

Alih-alih agresi, Trikora merupakan bagian dari proses panjang penyelesaian kolonialisme di Indonesia, yang pada akhirnya diterima oleh sistem hukum internasional melalui mekanisme PBB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *