WestNoken adalah platform informasi dan edukasi yang menghadirkan fakta-fakta objektif tentang Papua — dari sejarah, budaya, potensi alam, hingga dinamika sosial dan pembangunan terkini. Kami berkomitmen untuk melawan disinformasi dan menghadirkan narasi yang mencerahkan, seimbang, dan berbasis data. Melalui artikel, infografis, dan video edukatif, WestNoken mengajak pembaca untuk memahami Papua secara utuh: keindahan budayanya, perjuangan masyarakatnya, serta upaya nyata pemerintah dan warga dalam membangun tanah Papua yang damai dan sejahtera.
FAKTA HUKUM KONFLIK PAPUA
FAKTA HUKUM KONFLIK PAPUA

FAKTA HUKUM KONFLIK PAPUA

FAKTA HUKUM KONFLIK PAPUA

Westnoken — Menjelang tanggal 1 Desember sejumlah kelompok separatis di Papua kembali menggaungkan narasi bahwa hari tersebut adalah “Hari Kemerdekaan Papua”. Namun secara hukum, klaim tersebut tidak memiliki dasar yuridis baik dalam hukum nasional Indonesia maupun dalam kerangka hukum internasional.

1. Klaim “Hari Kemerdekaan” 1 Desember Tidak Sah Menurut Hukum

Secara historis tanggal 1 Desember 1961 merupakan penetapan simbol identitas lokal yang diberikan Belanda berupa bendera, lagu, dan manifesto budaya sebagai bagian dari persiapan administrasi menuju penentuan nasib di masa depan.

Namun dokumen tersebut bukan deklarasi kemerdekaan negara dan tidak pernah diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 diterima sidang umum PBB melalui Resolusi 2504, Papua secara sah diakui sebagai bagian dari Republik Indonesia.

Karena itu klaim kemerdekaan sepihak oleh kelompok separatis tidak memiliki dasar legal internasional.

2. Tindakan Kekerasan oleh Kelompok Bersenjata di Papua Melanggar Hukum Nasional dan Internasional

Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok bersenjata yang mengatasnamakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilaporkan melakukan sejumlah aksi kekerasan seperti penembakan terhadap warga sipil, penyanderaan, pembakaran fasilitas publik, hingga pembunuhan.

Aksi-aksi tersebut melanggar berbagai ketentuan hukum Indonesia antara lain:

KUHP

  • Pasal 106–110 KUHP : Makar dan pemisahan wilayah negara.
  • Pasal 340/338 KUHP : Pembunuhan berencana dan pembunuhan.
  • Pasal 187–188 KUHP : Pembakaran dan teror terhadap fasilitas umum.

UU 5/2018 Tentang Pemberantasan Terorisme

Menjerat tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut dengan motif politik atau ideologi.

UU 12/2005 (Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik – ICCPR)

Melarang tindakan yang merampas nyawa warga sipil, penyiksaan, dan penyanderaan.

Hukum Humaniter Internasional (Konvensi Jenewa)

Aksi kekerasan terhadap warga sipil dalam konflik bersenjata non-internasional melanggar Common Article 3. Dengan demikian, tindakan kelompok bersenjata bukan hanya pidana nasional tetapi juga pelanggaran hukum internasional.

3. TNI Berhak Melakukan Operasi Militer untuk Menghentikan Teror

Menurut UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, TNI memiliki kewenangan untuk menjalankan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) termasuk menumpas gerakan separatis bersenjata yang mengancam keamanan nasional dan warga sipil.

Ketika kelompok bersenjata melakukan:

  • Teror
  • Pembunuhan
  • Penyiksaan
  • Perusakan Fasilitas
  • Penyanderaan Terhadap Warga

Maka operasi keamanan oleh TNI merupakan tindakan yang sah menurut undang-undang untuk melindungi masyarakat dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.

4. PBB Tidak Akan Menerima Referendum yang Diajukan oleh Kelompok Bersenjata

PBB memiliki prinsip tegas bahwa hak penentuan nasib sendiri tidak berlaku untuk gerakan bersenjata yang menggunakan kekerasan terhadap warga sipil.

Selain itu referendum kemerdekaan hanya dapat dilakukan bila:

  • Disetujui oleh negara berdaulat (Indonesia)
  • Dilakukan secara damai
  • Tidak melanggar integritas teritorial negara.

Karena PBB telah menerima hasil Pepera 1969, Papua tidak lagi berstatus wilayah sengketa internasional sehingga referendum baru tidak dapat diminta secara sepihak. Lebih jauh, praktik PBB menunjukkan bahwa gerakan separatis bersenjata apa pun alasannya tidak diakomodasi untuk memperoleh referendum. Penggunaan kekerasan justru menjadi alasan kuat bagi PBB untuk menolak legitimasi politik kelompok tersebut.

Kesimpulan

  • 1 Desember bukan hari kemerdekaan dan tidak diakui secara hukum.
  • Tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok bersenjata merupakan tindak pidana dan pelanggaran hukum internasional.
  • TNI berhak menjalankan operasi keamanan untuk melindungi warga.
  • PBB tidak akan menerima referendum yang diajukan oleh kelompok yang menggunakan kekerasan terhadap masyarakat.

Narasi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang jernih kepada publik mengenai dasar hukum dan posisi internasional terkait isu Papua.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *