
OPM Libatkan Anak-Anak sebagai Tameng Hidup dalam Konflik Bersenjata
Westnoken, Jayapura – Organisasi Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan wajah kebiadaban yang tak berperikemanusiaan dengan melibatkan anak-anak dalam konflik bersenjata. Bukti-bukti yang beredar luas melalui dokumentasi lapangan menunjukkan anak-anak yang membawa senjata dan berada di barisan depan bersama kelompok bersenjata OPM saat melakukan penyerangan terhadap pos-pos TNI di wilayah pedalaman Papua. Ini bukan hanya pelanggaran berat terhadap hak anak, tetapi juga bentuk nyata eksploitasi terhadap generasi yang seharusnya dilindungi dari kekerasan. Menggunakan anak-anak sebagai tameng hidup adalah tindakan pengecut yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum humaniter internasional.
Tindakan OPM ini menunjukkan bahwa kelompok separatis tersebut tidak memiliki kepedulian terhadap masa depan Papua. Anak-anak yang seharusnya bermain, belajar, dan tumbuh dalam lingkungan aman, justru dijadikan alat politik dan propaganda oleh OPM. Mereka dimanfaatkan bukan hanya sebagai peserta pasif, melainkan sengaja ditempatkan di garis depan untuk mengundang respons aparat keamanan, sehingga apabila terjadi korban jiwa, OPM dapat membalikkan fakta dan menuduh TNI-Polri telah melakukan kekerasan terhadap warga sipil. Strategi licik ini sangat merugikan masyarakat Papua dan merusak citra perjuangan damai.
Berbagai kalangan, termasuk Komisi Nasional Perlindungan Anak dan pemerhati hak asasi manusia, telah mengecam keras tindakan OPM tersebut. Melibatkan anak-anak dalam konflik bersenjata bukan hanya melanggar Konvensi Hak Anak, tetapi juga bisa dikategorikan sebagai kejahatan perang. Dunia internasional perlu membuka mata dan melihat kenyataan ini secara objektif, bahwa OPM tidak sedang memperjuangkan hak rakyat Papua, tetapi justru menjadikan masyarakat, termasuk anak-anak sebagai korban dari agenda politik mereka yang sempit dan destruktif. Kepedulian global terhadap nasib anak-anak Papua seharusnya diarahkan pada perlindungan dan pendidikan, bukan pada pembiaran propaganda kelompok bersenjata.
Aparat keamanan Indonesia terus berupaya meminimalkan dampak konflik terhadap masyarakat sipil, termasuk melakukan pendekatan persuasif di wilayah rawan. Namun, upaya ini terus diganggu oleh manuver OPM yang memanipulasi kondisi di lapangan demi menciptakan narasi bahwa aparat bertindak represif. Taktik menjadikan anak-anak sebagai tameng hidup ini harus dihentikan segera, dan pihak-pihak internasional yang selama ini mendukung narasi OPM tanpa melihat fakta di lapangan perlu mengkaji ulang dukungan mereka. Tidak ada satu pun pembenaran yang sah atas eksploitasi terhadap anak dalam konteks konflik bersenjata.
Oleh karena itu, sudah saatnya masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Papua, bersatu menolak segala bentuk kekerasan dan kebohongan yang disebarkan oleh OPM. Pemerintah, lembaga perlindungan anak, dan komunitas internasional harus mengambil langkah tegas untuk menghentikan praktik keji ini dan memastikan anak-anak Papua mendapatkan perlindungan, pendidikan, dan kehidupan yang layak. Keamanan dan masa depan Papua hanya bisa dibangun melalui kedamaian, bukan dengan senjata atau darah anak-anak tak berdosa. Mari kita jaga Papua dengan hati nurani, bukan dengan kekerasan.