Westnoken, Jayapura – Belakangan ini, kelompok Free West Papua (FWP) kembali melakukan manuver propaganda melalui siaran radio di Australia dengan menghadirkan wawancara bersama Rob Wesley-Smith, seorang aktivis yang dikenal pro-kemerdekaan Timor-Leste dan Papua Barat. Dalam wawancara yang dilakukan di depan Konsulat Indonesia Darwin, Wesley-Smith melontarkan tuduhan bahwa Presiden Prabowo adalah “penjahat perang”, serta menyinggung isu deforestasi, penggusuran, bahkan menyeret Australia dalam narasi genosida di Papua dan Palestina. Tuduhan ini jelas tidak berdasar, penuh muatan politis, dan dimaksudkan untuk membentuk persepsi negatif terhadap Indonesia di mata dunia internasional. Pernyataan dari Rob Wesley Smith sebagai aktivis kemerdekaan Timor Leste, besar kemungkinan motifnya adalah untuk mendukung gerakan separatis Papua dengan mendiskreditkan Presiden RI.
Namun, perlu diluruskan bahwa opini yang disebarkan melalui siaran radio tersebut bukanlah cerminan dukungan internasional, melainkan sekadar upaya meminta simpati dunia internasional. Aksi protes di Darwin, Melbourne, hingga depan KBRI Canberra hanya melibatkan kelompok kecil aktivis yang konsisten membawa isu separatisme Papua. Faktanya, hingga saat ini mayoritas negara anggota PBB tetap menghormati kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia, termasuk Papua, sesuai prinsip hukum internasional. Artinya, propaganda FWP tidak memiliki legitimasi politik maupun pengakuan hukum, melainkan hanya narasi kosong yang digemakan berulang-ulang.
Isu deforestasi dan penggusuran yang dijadikan bahan serangan juga tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Pemerintah Indonesia justru menaruh perhatian besar pada pembangunan berkelanjutan di Papua dengan memperhatikan aspek lingkungan hidup dan hak masyarakat adat. Berbagai program pembangunan hijau, investasi berbasis keberlanjutan, serta pemberdayaan masyarakat lokal terus digulirkan. Tuduhan yang dilontarkan Wesley-Smith dan kelompok FWP justru menutup mata terhadap fakta kekerasan yang kerap dilakukan oleh kelompok bersenjata separatis, yang menyerang warga sipil, tenaga kesehatan, hingga guru di Papua.
Narasi yang mencoba menyeret Australia ke dalam isu “genosida” pun hanyalah provokasi murahan untuk merusak hubungan baik antara Indonesia dan Australia. Strategi seperti ini bukan hal baru, karena jaringan separatis Papua di luar negeri selalu berusaha menarik negara lain agar ikut campur dalam urusan domestik Indonesia. Padahal, dunia internasional memahami bahwa persoalan Papua adalah bagian dari urusan dalam negeri Indonesia yang sah, dan penyelesaiannya dilakukan melalui pembangunan, dialog, serta penegakan hukum yang adil. Oleh karena itu, propaganda FWP melalui siaran radio di Australia tidak lebih dari upaya pencitraan kelompok separatis yang semakin kehilangan legitimasi, sementara Indonesia terus bergerak maju membangun Papua demi kesejahteraan seluruh rakyatnya.